PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN
SELAIN PERADI DAN PELANGGARAN SUMPAH JABATAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI
(Oleh: Shalih Mangara Sitompul)
A.
Latar
Belakang
Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan perselisihan tentang wewenang
Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat yang tidak kunjung usai. Dalam
putusannya yang terakhir yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah
Konstitusi kembali menegaskan setidaknya 4 (empat) hal terkait itu : (1) pertama, bahwa persoalan apakah para Advokat sebaiknya
dibina di bawah naungan satu organisasi (single bar) ataupun
banyak organisasi (multi bar) system, sepenuhnya
adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy)
yang menjadi hak Pemerintah dan DPR dengan memperhatikan aspirasi profesi
Advokat; (2) kedua, penegasan bahwa PERADI
adalah Organisasi Advokat yang berhak untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang
Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (3) ketiga, Penegasan
bahwa para Advokat tidak dilarang untuk mendirikan wadah organisasi Advokat
selain PERADI, namun tidak berarti organisasi yang didirikan tersebut berwenang
menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat;
(4) keempat, Penegasan bahwa urusan Penyumpahan
Advokat yang diusulkan oleh Organisasi Advokat selain PERADI harus
dikoordinasikan dengan PERADI[1].
Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sumpah
Advokat selain PERADI itu harus dikoordinasikan dengan PERADI, pada faktanya
Mahkamah Agung tetap menerima Pengangkatan sumpah Advokat yang diusulkan secara
langsung oleh Organisasi Advokat selain PERADI. Diterimanya pengusulan sumpah
oleh selain PERADI itu didasarkan kepada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat.
Ketentuan Angka 6 dari surat tersebut secara eksplisit membolehkan
pengusulan sumpah Advokat yang disampaikan oleh Organisasi Advokat selain
PERADI sebagai berikut : “bahwa terhadap Advokat yang
belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan
penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organsasi
Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan Pengurus Organisasi Advokat lainnya
hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”.
Tindakan Ketua Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan keberlakuan Surat Ketua
MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 memunculkan pertanyaan
sebab Ketua Mahkamah Agung yang secara nyata menolak melaksanakan perintah
putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah secara tegas menyatakan
bahwa yang berkedudukan dan berwenang membina Advokat termasuk dalam hal ini
mengusulkan penyumpahan Advokat hanyalah PERADI, Namun setiap pengusulan sumpah
Advokat yang diajukan organisasi Advokat selain PERADI tetap diterima dan
dilaksanakan Penyumpahannya. Atas sikap ketua MA yang menolak merevisi ataupun
mencabut surat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa ketua Mahkamah Agung telah
secara nyata melanggar sumpah jabatannya? Jika benar demikian, apa tanggung
jawab hukum yang dapat dikenakan kepada ketua Mahkamah Agung RI?
B.
Sumpah
Jabatan dan Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3)
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud
adalah rechstaat yang pernah diulas oleh Frederich Julius
Stahl yang salah satu cirinya adalah “pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar”. Dari pengakuan itu membawa konsekuensi
bahwa semua tindak tanduk negara harus ada dasar hukumya dan harus selaras
dengan amanat undang-undang dasar, termasuk ketika akan mengangkat seseorang
untuk menduduki suatu jabatan publik.
Pengucapan sumpah atau
janji jabatan dalam pelantikan pejabat publik adalah sebagai konsekuensi dari
negara hukum, sebab Substansi sumpah berisi janji setia kepada hukum. Sumpah
jabatan mencerminkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pertama, penegasan bahwa
kekuasaan tertinggi dalam negara berpangkal kepada hukum (rule of law) bukan kepada seseorang (rule of men). Pengambilan sumpah jabatan tersebut pada
saat yang sama juga menegaskan asas equality before the law atau
persamaan kedudukan semua orang di hadapan hukum sehingga tidak ada seorangpun
yang berada di atas hukum (no one above the law).
Sekalipun pejabat yang bersumpah itu akan mendapatkan wewenang dalam ranah
hukum publik yang bersifat imperatif (memaksa untuk dipatuhi), namun tidak
lantas membuatnya berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan warga
negara lainnya. Di mata hukum kedudukannya tetap sama dan tidak lebih tinggi
daripada kedudukan hukum orang lain pada umumnya. No one above the law juga
bermakna bahwa terlepas segala kedudukan dan wewenang yang ia miliki karena
jabatannya, hukum tetap dapat menindaknya apabila terbukti melakukan
pelanggaran;
2. Kedua, sumpah jabatan adalah
janji atas pembatasan kekuasaan. Kekuasaan besar yang dimiliki seorang pejabat
dibatasi oleh apa-apa yang dibolehkan dan dilarang oleh hukum. Para sarjana
hukum memandang perlu membatasi kekuasaan karena sejarah telah membuktikan
bahwa sifat dasar kekuasaan cenderung digunakan secara sewenang-wenang (corrupt). Karena itu untuk mencegah agar kekuasaan
tidak dipergunakan secara sewenang-wenang harus ada pembatasan baik dari segi
jangka waktu kepemilikan atas kekuasaan itu dan maupun ruang lingkup
kekuasaannya. Sumpah setia kepada hukum adalah sebuah janji untuk mempergunakan
wewenang dalam jabatan terbatas hanya untuk kepentingan hukum dan bukan untuk
kepentingan pribadi (personal interest);
3. Ketiga, sumpah jabatan
sekaligus berfungsi sebagai kontrol publik. Sumpah setia kepada hukum
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kredibilitas dan
akuntabilitas pejabat publik. Dengan adanya sumpah tersebut, masyarakat dapat
menilai kesesuaian antara sumpah dan janji yang diucapkan dengan pelaksanaannya
di lapangan. Apabila ternyata melenceng dari sumpahnya, maka masyarakat menjadi
memiliki ukuran untuk menilai apakah pejabat publik yang bersangkutan masih
layak dipertahankan untuk menjalankan jabatannya atau selayaknya diberikan
sanksi dan diganti.
C.
Sumpah
Jabatan Ketua Mahkamah Agung
Sama halnya dengan pejabat-pejabat
negara lainnya, sebelum menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya, Ketua
Mahkamah Agung diwajibkan untuk mengambil sumpah jabatan (oath of office). Kewajiban itu tertera jelas dalam
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana dikatakan:
Demi Allah saya bersumpah bahwa
saya akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan
sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa
Dari bunyi sumpah tersebut,
Seorang Ketua Mahkamah Agung berjanji untuk setidaknya melaksanakan
3 (tiga) hal yakni : (1) pertama, Memenuhi
Kewajiban Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan Seadil-adilnya;
(2) kedua, Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945; (3) ketiga, Berbakti
kepada nusa dan bangsa. Menjadi pertanyaan kemudian, jika ketua Mahkamah Agung
melakukan tindakan yang melanggar salah satu dari ketiga poin sumpahnya itu,
apa konsekuensi hukum yang akan diterima olehnya?. Dapatkah pelanggaran itu
menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi berat bahkan sampai
memberhentikannya dari jabatan Ketua?.
Jika ditelusuri seluruh
ketentuan tentang pelanggaran sumpah jabatan, tidak akan ditemukan satupun
pasal yang mengatur tentang konsekuensi hukum jika ketua MA melanggar sumpah
jabatannya itu. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Satu-satunya ketentuan
yang mengatur tentang pelanggaran sumpah hanya diatur untuk jabatan hakim agung
saja. Pasal 11 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Hakim Agung
dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila salah
satunya : “d. Melanggar sumpah atau janji jabatan”. Sementara
satu-satunya pasal yang mengatur tentang pemberhentian ketua Mahkamah Agung
hanyalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dimana Ketua Mahkamah Agung
dapat diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena alasan : (1) meninggal
dunia, (2) telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; (3) atas permintaan sendiri
secara tertulis; (4) sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3
(tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat dokter; atau (5)
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Dengan kata lain,
satu-satunya ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang
konsekuensi pelanggaran sumpah jabatan hanya ditujukan kepada Hakim Agung saja,
namun terhadap ketua Mahkamah Agung masih menyisakan pertanyaan sebab tidak
terdapat satupun pasal yang mengatur konsekuensi hukum jika ketua Mahkamah
Agung melakukan tindakan yang secara nyata bertentangan dengan sumpah
jabatannya. Betulkah pelanggaran sumpah Ketua Mahkamah Agung tidak dapat
dikenakan sanksi apapun?
D.
Pengangkatan
Sumpah Advokat Selain PERADI Wujud Pelanggaran Sumpah Ketua MA
Sebagaimana telah
diutarakan di awal tulisan ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-XVII/2018 telah menegaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi
Advokat yang berwenang untuk melaksanakan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan
Pengawasan Profesi Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat,
termasuk salah satu di dalamnya adalah wewenang untuk mengusulkan sumpah
Advkoat ke Pengadilan Tinggi. Dalam kenyataannya, Pengusulan Sumpah Advokat
oleh Organisasi Selain PERADI ternyata tetap bisa dilakukan dan dibolehkan oleh
Mahkamah Agung dengan landasan hukum berupa Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Meskipun
telah ditegaskan tidak berwenang oleh Mahkamah Konstitusi, Poin 6 Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 itu secara tegas membolehkan
pengusulan sumpah Advokat oleh Organisasi manapun selain PERADI. Meski
jelas-jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada
tanda-tanda Ketua Mahkamah Agung akan mencabut surat tersebut.
Pertanyaan selanjutnya
adalah dapatkah sikap Ketua Mahkamah Agung yang mempertahankan Surat tersebut
dipandang sebagai pelanggaran atas sumpah Jabatan? Tentu saja hal itu benar
adanya. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang diambil dengan tujuan
untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusannya, Mahkamah
Agung juga turut terikat dengan putusan tersebut sebab dengan melaksanakan
putusan Mahkamah Konstitusi itu, Mahkamah Agung telah memenuhi sumpah
jabatannya yang akan “Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Sebaliknya, Jika Mahkamah Agung
mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pengabaian atas putusan Mahkamah
Konstitusi secara nyata berarti mengabaikan sumpah jabatannya sendiri.
Terlebih ketentuan Pasal
47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum”. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Konstitusi
berkedudukan setara dengan undang-undang yang mengikat umum termasuk ketua
Mahkamah Agung RI dan berlaku secara kedepan secara prospektif. Karena itu,
ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 keluar pada
tanggal 07 Oktober 2018. Maka sejak saat itu semestinya Mahkamah Agung
menindaklanjutinya dengan melakukan revisi ataupun mencabut Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
Pada faktanya, hingga
saat ini Mahkamah Agung tidak menindaklanjuti hal itu sehingga pengabaian
putusan Mahkamah Konstitusi itu jelaslah sebuah pelanggaran atas sumpah jabatan
yang telah dia ucapkan. Namun demikian, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, atas pelanggaran sumpah jabatannya itu, tidak ada satupun ketentuan
pasal yang memuat sanksi yang dapat dikenakan kepada Ketua Mahkamah Agung.
Padahal dua cabang kekuasaan lainnya yakni Kepala Eksekutif (presiden)[2] dan maupun kepala Legislatif (DPR)[3] sama-sama dapat di-remove dari kantor dan kedudukannya apabila terbuki
melanggar sumpah jabatan. Mengapa Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang kedudukannya sangat vital karena menyangkut hak atas keadilan
masyarakat justru tidak terdapat sanksi jika melanggar sumpah jabatannya? Hal
itu menjadi kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang dapat
ditindaklanjuti dengan legislative review yang
dapat ditindaklanjuti dengan revisi/penggantian ataupun melalui judicial review untuk dapat memperluas tafsir
konsekuensi hukum jika hakim agung melanggar sumpah jabatannya mutatis mutandis juga berlaku kepada jabatan Ketua[4].
Bahwa tindakan Ketua
Mahkamah Agung mempertahankan SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal
25 September 2015 jelaslah melanggar sumpah jabatannya. Pelanggaran atas sumpah
jabatan itu adalah pelanggaran dalam ranah hukum administrasi sehingga layaknya
dua jabatan sebelumnya, sanksi yang dapat dikenakan juga adalah berupa sanksi
administrasi. Akan tetapi, jika mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku
saat itu, atas “tindakan” nya itu tidak dapat
diproses untuk diberikan sanksi administrasi sebab tidak ada satupun ketentuan
yang mengatur tentang hal itu. Ketiadaan aturan untuk memprosesnya tentu saja
membuat tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada jabatan ketua Mahkamah
Agung atas “tindakan” nya itu.
Di sisi lain, terhadap
produknya sendiri yakni SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25
September 2015 secara hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum pembatalan baik
melalui upaya administratif dengan mengajukan keberatan kepada Ketua Mahkamah
Agung dan dikuatkan pula dengan Rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia.
Selain itu, upaya pembatalan dapat pula ditempuh dengan mengajukan permohonan
fiktif positif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam tempo 10
(sepuluh hari) yang terlewati setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Ketua Mahkamah Agung agar merevisi/mencabut SK Ketua MA Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
1Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi
No.35/PUU-XVII/2018.,hal 318
2Presiden dapat di-impeached kalau terbukti
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan Pasal 7A yakni melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat
lainnya. Meskipun tidak disebutkan melanggar sumpah jabatannya, namun
pelanggaran-pelanggaran itu jika dilakukan secara nyata juga berarti melanggar
sumpah jabatannya yang berjanji �memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti keapda nusa dan bangsa�
3Pasal 87 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2017 mengatakan �Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c apabila...b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik
DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Mahkamah Kehormatan DPR�
4Jika ditelusuri kepada ketentuan Undang-Undang
MA di masa lalu, pelanggaran sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung ternyata ada
sanksinya, namun ketentuan itu dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009. Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yakni Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan . Dalam
perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, ketentuan Pasal 12 itu
ternyata masih dipertahankan, sebagaimana dikatakan �Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung dengan
alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan�