Cari Blog Ini

Kamis, 20 Mei 2021

TAFSIR TETANG PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN OA SELAIN PERADI

 

PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN SELAIN PERADI DAN PELANGGARAN SUMPAH JABATAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI

(Oleh: Shalih Mangara Sitompul)

A.    Latar Belakang

                Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan perselisihan tentang wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat yang tidak kunjung usai. Dalam putusannya yang terakhir yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan setidaknya 4 (empat) hal terkait itu : (1) pertama, bahwa persoalan apakah para Advokat sebaiknya dibina di bawah naungan satu organisasi (single bar) ataupun banyak organisasi (multi bar) system, sepenuhnya adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi hak Pemerintah dan DPR dengan memperhatikan aspirasi profesi Advokat; (2) kedua, penegasan bahwa PERADI adalah Organisasi Advokat yang berhak untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (3) ketiga, Penegasan bahwa para Advokat tidak dilarang untuk mendirikan wadah organisasi Advokat selain PERADI, namun tidak berarti organisasi yang didirikan tersebut berwenang menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (4) keempat, Penegasan bahwa urusan Penyumpahan Advokat yang diusulkan oleh Organisasi Advokat selain PERADI harus dikoordinasikan dengan PERADI[1].

 

                Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sumpah Advokat selain PERADI itu harus dikoordinasikan dengan PERADI, pada faktanya Mahkamah Agung tetap menerima Pengangkatan sumpah Advokat yang diusulkan secara langsung oleh Organisasi Advokat selain PERADI. Diterimanya pengusulan sumpah oleh selain PERADI itu didasarkan kepada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Ketentuan Angka 6 dari surat tersebut secara eksplisit membolehkan pengusulan sumpah Advokat yang disampaikan oleh Organisasi Advokat selain PERADI sebagai berikut : “bahwa terhadap Advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organsasi Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan Pengurus Organisasi Advokat lainnya hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”.

 

                Tindakan Ketua Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan keberlakuan Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 memunculkan pertanyaan sebab Ketua Mahkamah Agung yang secara nyata menolak melaksanakan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah secara tegas menyatakan bahwa yang berkedudukan dan berwenang membina Advokat termasuk dalam hal ini mengusulkan penyumpahan Advokat hanyalah PERADI, Namun setiap pengusulan sumpah Advokat yang diajukan organisasi Advokat selain PERADI tetap diterima dan dilaksanakan Penyumpahannya. Atas sikap ketua MA yang menolak merevisi ataupun mencabut surat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa ketua Mahkamah Agung telah secara nyata melanggar sumpah jabatannya? Jika benar demikian, apa tanggung jawab hukum yang dapat dikenakan kepada ketua Mahkamah Agung RI?

B.     Sumpah Jabatan dan Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah rechstaat yang pernah diulas oleh Frederich Julius Stahl yang salah satu cirinya adalah “pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar”. Dari pengakuan itu membawa konsekuensi bahwa semua tindak tanduk negara harus ada dasar hukumya dan harus selaras dengan amanat undang-undang dasar, termasuk ketika akan mengangkat seseorang untuk menduduki suatu jabatan publik.

 

Pengucapan sumpah atau janji jabatan dalam pelantikan pejabat publik adalah sebagai konsekuensi dari negara hukum, sebab Substansi sumpah berisi janji setia kepada hukum. Sumpah jabatan mencerminkan hal-hal sebagai berikut :

 

1.     Pertama, penegasan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berpangkal kepada hukum (rule of law) bukan kepada seseorang (rule of men). Pengambilan sumpah jabatan tersebut pada saat yang sama juga menegaskan asas equality before the law atau persamaan kedudukan semua orang di hadapan hukum sehingga tidak ada seorangpun yang berada di atas hukum (no one above the law). Sekalipun pejabat yang bersumpah itu akan mendapatkan wewenang dalam ranah hukum publik yang bersifat imperatif (memaksa untuk dipatuhi), namun tidak lantas membuatnya berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan warga negara lainnya. Di mata hukum kedudukannya tetap sama dan tidak lebih tinggi daripada kedudukan hukum orang lain pada umumnya. No one above the law juga bermakna bahwa terlepas segala kedudukan dan wewenang yang ia miliki karena jabatannya, hukum tetap dapat menindaknya apabila terbukti melakukan pelanggaran;

2.     Kedua, sumpah jabatan adalah janji atas pembatasan kekuasaan. Kekuasaan besar yang dimiliki seorang pejabat dibatasi oleh apa-apa yang dibolehkan dan dilarang oleh hukum. Para sarjana hukum memandang perlu membatasi kekuasaan karena sejarah telah membuktikan bahwa sifat dasar kekuasaan cenderung digunakan secara sewenang-wenang (corrupt). Karena itu untuk mencegah agar kekuasaan tidak dipergunakan secara sewenang-wenang harus ada pembatasan baik dari segi jangka waktu kepemilikan atas kekuasaan itu dan maupun ruang lingkup kekuasaannya. Sumpah setia kepada hukum adalah sebuah janji untuk mempergunakan wewenang dalam jabatan terbatas hanya untuk kepentingan hukum dan bukan untuk kepentingan pribadi (personal interest);

3.     Ketiga, sumpah jabatan sekaligus berfungsi sebagai kontrol publik. Sumpah setia kepada hukum memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kredibilitas dan akuntabilitas pejabat publik. Dengan adanya sumpah tersebut, masyarakat dapat menilai kesesuaian antara sumpah dan janji yang diucapkan dengan pelaksanaannya di lapangan. Apabila ternyata melenceng dari sumpahnya, maka masyarakat menjadi memiliki ukuran untuk menilai apakah pejabat publik yang bersangkutan masih layak dipertahankan untuk menjalankan jabatannya atau selayaknya diberikan sanksi dan diganti.

C.     Sumpah Jabatan Ketua Mahkamah Agung

Sama halnya dengan pejabat-pejabat negara lainnya, sebelum menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya, Ketua Mahkamah Agung diwajibkan untuk mengambil sumpah jabatan (oath of office). Kewajiban itu tertera jelas dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana dikatakan:

Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa

 

Dari bunyi sumpah tersebut, Seorang Ketua Mahkamah Agung berjanji untuk setidaknya melaksanakan 3 (tiga) hal yakni : (1) pertama, Memenuhi Kewajiban Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan Seadil-adilnya; (2) kedua, Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945; (3) ketiga, Berbakti kepada nusa dan bangsa. Menjadi pertanyaan kemudian, jika ketua Mahkamah Agung melakukan tindakan yang melanggar salah satu dari ketiga poin sumpahnya itu, apa konsekuensi hukum yang akan diterima olehnya?. Dapatkah pelanggaran itu menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi berat bahkan sampai memberhentikannya dari jabatan Ketua?.

 

Jika ditelusuri seluruh ketentuan tentang pelanggaran sumpah jabatan, tidak akan ditemukan satupun pasal yang mengatur tentang konsekuensi hukum jika ketua MA melanggar sumpah jabatannya itu. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang pelanggaran sumpah hanya diatur untuk jabatan hakim agung saja. Pasal 11 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Hakim Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila salah satunya : “d. Melanggar sumpah atau janji jabatan”. Sementara satu-satunya pasal yang mengatur tentang pemberhentian ketua Mahkamah Agung hanyalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dimana Ketua Mahkamah Agung dapat diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena alasan : (1) meninggal dunia, (2) telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; (3) atas permintaan sendiri secara tertulis; (4) sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat dokter; atau (5) ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.

 

Dengan kata lain, satu-satunya ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang konsekuensi pelanggaran sumpah jabatan hanya ditujukan kepada Hakim Agung saja, namun terhadap ketua Mahkamah Agung masih menyisakan pertanyaan sebab tidak terdapat satupun pasal yang mengatur konsekuensi hukum jika ketua Mahkamah Agung melakukan tindakan yang secara nyata bertentangan dengan sumpah jabatannya. Betulkah pelanggaran sumpah Ketua Mahkamah Agung tidak dapat dikenakan sanksi apapun?

 

D.    Pengangkatan Sumpah Advokat Selain PERADI Wujud Pelanggaran Sumpah Ketua MA

Sebagaimana telah diutarakan di awal tulisan ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 telah menegaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi Advokat yang berwenang untuk melaksanakan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat, termasuk salah satu di dalamnya adalah wewenang untuk mengusulkan sumpah Advkoat ke Pengadilan Tinggi. Dalam kenyataannya, Pengusulan Sumpah Advokat oleh Organisasi Selain PERADI ternyata tetap bisa dilakukan dan dibolehkan oleh Mahkamah Agung dengan landasan hukum berupa Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Meskipun telah ditegaskan tidak berwenang oleh Mahkamah Konstitusi, Poin 6 Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 itu secara tegas membolehkan pengusulan sumpah Advokat oleh Organisasi manapun selain PERADI. Meski jelas-jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada tanda-tanda Ketua Mahkamah Agung akan mencabut surat tersebut.

 

Pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah sikap Ketua Mahkamah Agung yang mempertahankan Surat tersebut dipandang sebagai pelanggaran atas sumpah Jabatan? Tentu saja hal itu benar adanya. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang diambil dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusannya, Mahkamah Agung juga turut terikat dengan putusan tersebut sebab dengan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi itu, Mahkamah Agung telah memenuhi sumpah jabatannya yang akan “Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Sebaliknya, Jika Mahkamah Agung mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pengabaian atas putusan Mahkamah Konstitusi secara nyata berarti mengabaikan sumpah jabatannya sendiri.

 

Terlebih ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan undang-undang yang mengikat umum termasuk ketua Mahkamah Agung RI dan berlaku secara kedepan secara prospektif. Karena itu, ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 keluar pada tanggal 07 Oktober 2018. Maka sejak saat itu semestinya Mahkamah Agung menindaklanjutinya dengan melakukan revisi ataupun mencabut Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.

 

Pada faktanya, hingga saat ini Mahkamah Agung tidak menindaklanjuti hal itu sehingga pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi itu jelaslah sebuah pelanggaran atas sumpah jabatan yang telah dia ucapkan. Namun demikian, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, atas pelanggaran sumpah jabatannya itu, tidak ada satupun ketentuan pasal yang memuat sanksi yang dapat dikenakan kepada Ketua Mahkamah Agung. Padahal dua cabang kekuasaan lainnya yakni Kepala Eksekutif (presiden)[2] dan maupun kepala Legislatif (DPR)[3] sama-sama dapat di-remove dari kantor dan kedudukannya apabila terbuki melanggar sumpah jabatan. Mengapa Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sangat vital karena menyangkut hak atas keadilan masyarakat justru tidak terdapat sanksi jika melanggar sumpah jabatannya? Hal itu menjadi kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang dapat ditindaklanjuti dengan legislative review yang dapat ditindaklanjuti dengan revisi/penggantian ataupun melalui judicial review untuk dapat memperluas tafsir konsekuensi hukum jika hakim agung melanggar sumpah jabatannya mutatis mutandis juga berlaku kepada jabatan Ketua[4].

 

Bahwa tindakan Ketua Mahkamah Agung mempertahankan SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 jelaslah melanggar sumpah jabatannya. Pelanggaran atas sumpah jabatan itu adalah pelanggaran dalam ranah hukum administrasi sehingga layaknya dua jabatan sebelumnya, sanksi yang dapat dikenakan juga adalah berupa sanksi administrasi. Akan tetapi, jika mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku saat itu, atas “tindakan” nya itu tidak dapat diproses untuk diberikan sanksi administrasi sebab tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang hal itu. Ketiadaan aturan untuk memprosesnya tentu saja membuat tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada jabatan ketua Mahkamah Agung atas “tindakan” nya itu.

 

Di sisi lain, terhadap produknya sendiri yakni SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 secara hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum pembatalan baik melalui upaya administratif dengan mengajukan keberatan kepada Ketua Mahkamah Agung dan dikuatkan pula dengan Rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, upaya pembatalan dapat pula ditempuh dengan mengajukan permohonan fiktif positif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam tempo 10 (sepuluh hari) yang terlewati setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Ketua Mahkamah Agung agar merevisi/mencabut SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.







1Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-XVII/2018.,hal 318

2Presiden dapat di-impeached kalau terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan Pasal 7A yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Meskipun tidak disebutkan melanggar sumpah jabatannya, namun pelanggaran-pelanggaran itu jika dilakukan secara nyata juga berarti melanggar sumpah jabatannya yang berjanji memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti keapda nusa dan bangsa

3Pasal 87 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2017 mengatakan Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila...b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR

4Jika ditelusuri kepada ketentuan Undang-Undang MA di masa lalu, pelanggaran sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung ternyata ada sanksinya, namun ketentuan itu dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yakni Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan . Dalam perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, ketentuan Pasal 12 itu ternyata masih dipertahankan, sebagaimana dikatakan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan

 

MUSCAB II DPC PERADI JOMBANG

MUSYAWARAH CABANG KE-II

DPC PERADI JOMBANG

(Sabtu, 10 April 2021)

bertempat di Ballroom Hotel Yusro, Jl. Sukarno Hatta No. 25 Jombang sukses terlaksana prosesi peralihan kepemimpinan pengurus DPC Peradi 2016-2021 kepada kepengurusan yang baru 2021-2026.

H. Mohammad Siswoyo, SH., MH. terpilih dengan perolehan suara terbanyak mengungguli 4 kandidat lainnya, setelah sebelumnya 2 kandidat ( Farid Fathoni dan Mohamad Sholahuddin) mengundurkan diri. selanjutnya bersama ketua DPC demisioner dan nominasi perolehan suara terbanyak kedua ditetapkan sebagai Tim Formatur.


 saat ini SK kepengurusan DPC PERADI Jombang kepengurusan 2021- 2026 telah disahkan oleh DPP berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Nasional PERADI Nomor : KEP.098/PERADI/DPN/IV/2021 tertanggal 30  April 2021. tentang Pengangkatan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Jombang Masa Jabatan 2021 - 2026.

dalam waktu dekat akan dilaksanakan pelantikan pengurus DPC PARADI JOMBANG.

PERPANJANGAN KARTU ANGGOTA PERADI

 PENGUMUNAN DATA ULANG PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA TAHUN 2021

 

Sehubungan dengan akan berakhirnya masa berlaku Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 31 Desember 2021, Dewan Pimpinan Nasional (DPN) PERADI akan melakukan pendataan ulang Advokat untuk menerbitkan KTPA baru dan Direktori Advokat Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:

 

 

1.   Data Ulang Advokat hanya untuk Advokat yang terdaftar dalam Buku Daftar Anggota PERADI yang tidak diberhentikan secara hormat maupun tidak hormat sebagai Anggota PERADI.

 

2.   Data Ulang Advokat dimulai tanggal 5 April 2021 s.d. 30 Juni 2021.

 

3.   Formulir Data Ulang Advokat dan persyaratannya dapat diperoleh di situs http://www.peradi.or.id/ dan di http://www.hukumonline.com/ atau Sekretariat DPC PERADI di seluruh Indonesia (daftar alamat DPC PERADI dapat dilihat di situs http://www.peradi.or.id).

 

4.   Formulir Data Ulang Advokat yang telah diisi berikut persyaratannya harus diserahkan kepada DPN PERADI melalui Sekretariat DPC PERADI di wilayah domisili Advokat terdaftar berdasarkan alamat kantor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam bentuk hard copy dan soft copy PDF, paling lambat tanggal 30 Juni 2021.

 

5.   Biaya Data Ulang Advokat sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dan untuk Advokat yang pengangkatannya dilaksanakan antara bulan Januari - Maret 2021 dikenakan biaya sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah), disetorkan langsung ke rekening DPN PERADI di:

 

Bank

: Bank Central Asia (BCA) KCU Mangga Dua Raya

Nomor Rekening

: 335-304-000-2

Atas Nama

: Perhimpunan Advokat Indonesia

                                       

 

6.   Persyaratan Data Ulang Advokat yang wajib dilampirkan, yaitu :

a.   Formulir Data Ulang 2021 yang telah diisi;

b.   Fotokopi KTP dan ; KTPA yang telah dikeluarkan oleh DPN PERADI;

c.   Tanda bukti pembayaran biaya administrasi Data Ulang Advokat. Dalam bukti pembayaran harus dicantumkan Nama Advokat dan Nomor Induk Advokat (N.I.A.);

d.   Pas Foto terbaru berlatar belakang warna merah ukuran 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar;

e.   Fotokopi SK Pengangkatan Advokat;

f.    Fotokopi Berita Acara Sumpah (BAS) dari Pengadilan Tinggi;

g.   Fotokopi ijazah legalisir basah khusus penambahan gelar.

 

 

7.   Advokat yang pengangkatannya dilaksanakan setelah tanggal 05 April 2021 tidak diwajibkan Data Ulang karena KTPA yang diterbitkan berlaku sampai dengan tahun 2024;

 

 

8.   KTPA baru akan diserahkan kepada Advokat melalui kantor Sekretariat DPC PERADI tempat dimana Advokat terdaftar.

 

 

 

Jakarta, 5 April 2021

DEWAN PIMPINAN NASIONAL

PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA

 

 

 

ttd,

ttd,

Prof. Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M.

H. Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

                                                  

 

Kode Etik Advokat Indonesia

 

Kode Etik Advokat
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA




KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA




IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL (HKHPM)




DISAHKAN PADA TANGGAL:
23 MEI 2002




DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH:
PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002

KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN

Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap anggotanya dalam menjalankan profesinya.

Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum lainnya.

Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.

Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Yang dimaksud dengan:

a.     Advokat adalah orang yang berpraktek memberi jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.

b.     Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.

c.     Teman sejawat adalah orang atau mereka yang menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

d.     Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

e.     Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat.

f.      Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan klienny

BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2

Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah jabatannya.

Pasal 3

a.     Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya.

b.     Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya Hukum, Kebenaran dan Keadilan.

c.     Advokat dalam menjalankan profesinya adalah bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.

d.     Advokat wajib memelihara rasa solidaritas diantara teman sejawat.

e.     Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.

f.      Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.

g.     Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).

h.     Advokat dalam menjalankan profesinya harus bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat advokat.

i.      Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan tersebut.

BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4

a.     Advokat dalam perkara-perkara perdata harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.

b.     Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.

c.     Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.

d.     Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien.

e.     Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu.

f.      Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima uang jasa.

g.     Advokat harus menolak mengurus perkara yang menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.

h.     Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.

i.      Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 huruf a.

j.      Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

k.     Hak retensi Advokat terhadap klien diakui sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.

BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5

a.     Hubungan antara teman sejawat Advokat harus dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.

b.     Advokat jika membicarakan teman sejawat atau jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.

c.     Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa atau cara lain.

d.     Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut seorang klien dari teman sejawat.

e.     Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.

f.      Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu, dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.

g.     BAB V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6

h.     Advokat asing yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.

BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7

a.     Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi catatan "Sans Prejudice ".

b.     Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.

c.     Dalam perkara perdata yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat "ad informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.

d.     Dalam perkara pidana yang sedang berjalan, Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa penuntut umum.

e.     Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.

f.      Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui Advokat tersebut.

g.     Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.

h.     Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.

i.      Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada waktunya

BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
Pasal 8

a.     Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan Kode Etik ini.

b.     Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.

c.     Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.

d.     Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.

e.     Advokat tidak dibenarkan mengizinkan karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.

f.      Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.

g.     Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.

h.     Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai Hakim atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut

BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9

a.     Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Advokat ini.

b.     Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.

BAB IX
DEWAN KEHORMATAN

Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10

1.     Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.

2.     Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan melalui dua tingkat, yaitu:

a.     Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.

b.     Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.

3.     Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat terakhir.

4.     Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:

a.     Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;

b.     Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;

c.     Pengadu/Teradu.

Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11

1.     Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:

a.     Klien.

b.     Teman sejawat Advokat.

c.     Pejabat Pemerintah.

d.     Anggota Masyarakat.

e.     Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.

2.     Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai pengadu dalam hal yang menyangkut epentingan hukum dan kepentingan umum dan yang dipersamakan untuk itu.

3.     Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.

Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12

1.     Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.

2.     Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.

3.     Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.

4.     Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan Pimpinan Cabang/Daerah.

Bagian Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 13

1.     Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat pengaduan tersebut.

2.     Selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai surat-surat bukti yang dianggap perlu.

3.     Jika dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah melepaskan hak jawabnya.

4.     Dalam hal teradu tidak menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.

5.     Dalam hal jawaban yang diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah ditetapkan tersebut.

6.     Panggilan-panggilan tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga) hari sebelum hari sidang yang ditentukan.

7.     Pengadu dan yang teradu:

a.     Harus hadir secara pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.

b.     Berhak untuk mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti.

8.     Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:

a.     Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;

b.     Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

c.     Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.

9.     Pada sidang pertama yang dihadiri kedua belah pihak:

a.     Dewan Kehormatan akan menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;

b.     Perdamaian hanya dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

c.     Kedua belah pihak diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.

Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 14

1.     Dewan Kehormatan Cabang/Daerah bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu berjumlah ganjil.

2.     Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.

3.     Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,

4.     Setiap dilakukan persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis yang menyidangkan perkara itu.

5.     Sidang-sidang dilakukan secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.

Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15

1.     Setelah memeriksa dan mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat berupa:

a.     Menyatakan pengaduan dari pengadu tidak dapat diterima;

b.     Menerima pengaduan dari pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksisanksi kepada teradu;

c.     Menolak pengaduan dari pengadu.

2.     Keputusan harus memuat pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal Kode Etik yang dilanggar.

3.     Majelis Dewan Kehormatan mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

4.     Anggota Majelis yang kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan didalam berkas perkara.

5.     Keputusan ditandatangani oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.

Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16

1.     Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:

a.     Peringatan biasa.

b.     Peringatan keras.

c.     Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu.

d.     Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi.

2.     Hukuman yang diberikan dalam keputusan dapat berupa:

a.     Peringatan biasa bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.

b.     Peringatan keras bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.

c.     Pemberhentian sementara untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.

d.     Pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.

3.     Pemberian sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.

4.     Terhadap mereka yang dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.

Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17

Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah harus disampaikan kepada:

a.     Anggota yang diadukan/teradu;

b.     Pengadu;

c.     Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;

d.     Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;

e.     Dewan Kehormatan Pusat;

f.      Instansi-instansi yang dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 18

1.     Apabila pengadu atau teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan Pusat.

2.     Pengajuan permohonan banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.

3.     Dewan Kehormatan Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat kepada pihak lainnya selaku terbanding.

4.     Pihak terbanding dapat mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.

5.     Jika jangka waktu yang ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap telah melepaskan haknya untuk itu.

6.     Selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.

7.     Pengajuan permohonan banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.

8.     Dewan kehormatan Pusat memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap Ketua Majelis.

9.     Majelis dapat terdiri dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan dan menjiwai Kode Etik Advokat.

10.   Majelis dipilih dalam rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan lainnya yang tertua.

11.   Dewan Kehormatan Pusat memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.

12.   Dewan Kehormatan Pusat secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.

13.   Semua ketentuan yang berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding oleh Dewan Kehormatan Pusat.

Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19

1.     Dewan Kehormatan Pusat dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.

2.     Keputusan Dewan kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.

3.     Keputusan Dewan Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.

4.     Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:

a.     Anggota yang diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;

b.     Pengadu baik selaku pembanding ataupun terbanding;

c.     Dewan Pimpinan Cabang/Daerah yang bersangkutan;

d.     Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan;

e.     Dewan Pimpinan Pusat dari masing-masing organisasi profesi;

f.      Instansi-instansi yang dianggap perlu.

5.     Apabila seseorang telah dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk memecat orang yang bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.

Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20

Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi

BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21

Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.

BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22

1.     Kode Etik ini dibuat dan diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di Indonesia tanpa terkecuali.

2.     Setiap Advokat wajib menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini.

3.     Komite Kerja Advokat Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.

4.     Organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik Advokat ini.

Pasal 23

Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.

BAB XII
PENUTUP
Pasal 24

Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya Undang-undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
Oleh :

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

ttd

ttd

H. Sudjono, S.H.

Otto Hasibuan, S.H. MM

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

ttd

ttd

Denny Kailimang, S.H.

Teddy Soemantry, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

ttd

ttd

H. Indra Sahnun Lubis, S.H.

E. Suherman Kartadinata, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

ttd

ttd

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph.

Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.

Sekretaris/Caretaker Ketua

Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

ttd

ttd

Soemarjono S., S.H.

Hafzan Taher, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

ttd

ttd

Trimedya Panjaitan, S.H.

Sugeng T. Santoso, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

ttd

ttd

H. A. Z. Arifien Syafe'i, S.H.

Suhardi Somomoeljono, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA

Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat & Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII, pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002 sehingga seluruhnya menjadi :

BAB XII
PENUTUP

Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:

1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN)

ttd

ttd

H. Sudjono, S.H.

Otto Hasibuan, S.H. MM

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI)

ttd

ttd

Denny Kailimang, S.H.

Teddy Soemantry, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI)

ttd

ttd

H. Indra Sahnun Lubis, S.H.

E. Suherman Kartadinata, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI)

ttd

ttd

Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph.

Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M.

Sekretaris/Caretaker Ketua

Bendahara/Caretaker Ketua

5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL

ttd

ttd

Soemarjono S., S.H.

Hafzan Taher, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)

ttd

ttd

Trimedya Panjaitan, S.H.

Sugeng T. Santoso, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI)

ttd

ttd

H. A. Z. Arifien Syafe'i, S.H.

Suhardi Somomoeljono, S.H.

Ketua Umum

Sekretaris Jenderal

 

Dua Tumpeng sebagai syarat buka kantor DPC

Peradi Jombang Tasyakuran dua tumpeng untuk syarat buka kantor Jombang, dpcperadijombang.blogspot.com.- Tasyakuran dalam rangka peresmian ka...