Cari Blog Ini
Rabu, 26 Mei 2021
Kamis, 20 Mei 2021
TAFSIR TETANG PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN OA SELAIN PERADI
PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN
SELAIN PERADI DAN PELANGGARAN SUMPAH JABATAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI
(Oleh: Shalih Mangara Sitompul)
A.
Latar
Belakang
Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan perselisihan tentang wewenang
Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat yang tidak kunjung usai. Dalam
putusannya yang terakhir yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah
Konstitusi kembali menegaskan setidaknya 4 (empat) hal terkait itu : (1) pertama, bahwa persoalan apakah para Advokat sebaiknya
dibina di bawah naungan satu organisasi (single bar) ataupun
banyak organisasi (multi bar) system, sepenuhnya
adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy)
yang menjadi hak Pemerintah dan DPR dengan memperhatikan aspirasi profesi
Advokat; (2) kedua, penegasan bahwa PERADI
adalah Organisasi Advokat yang berhak untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang
Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (3) ketiga, Penegasan
bahwa para Advokat tidak dilarang untuk mendirikan wadah organisasi Advokat
selain PERADI, namun tidak berarti organisasi yang didirikan tersebut berwenang
menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat;
(4) keempat, Penegasan bahwa urusan Penyumpahan
Advokat yang diusulkan oleh Organisasi Advokat selain PERADI harus
dikoordinasikan dengan PERADI[1].
Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sumpah
Advokat selain PERADI itu harus dikoordinasikan dengan PERADI, pada faktanya
Mahkamah Agung tetap menerima Pengangkatan sumpah Advokat yang diusulkan secara
langsung oleh Organisasi Advokat selain PERADI. Diterimanya pengusulan sumpah
oleh selain PERADI itu didasarkan kepada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat.
Ketentuan Angka 6 dari surat tersebut secara eksplisit membolehkan
pengusulan sumpah Advokat yang disampaikan oleh Organisasi Advokat selain
PERADI sebagai berikut : “bahwa terhadap Advokat yang
belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan
penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal
3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organsasi
Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan Pengurus Organisasi Advokat lainnya
hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”.
Tindakan Ketua Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan keberlakuan Surat Ketua
MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 memunculkan pertanyaan
sebab Ketua Mahkamah Agung yang secara nyata menolak melaksanakan perintah
putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah secara tegas menyatakan
bahwa yang berkedudukan dan berwenang membina Advokat termasuk dalam hal ini
mengusulkan penyumpahan Advokat hanyalah PERADI, Namun setiap pengusulan sumpah
Advokat yang diajukan organisasi Advokat selain PERADI tetap diterima dan
dilaksanakan Penyumpahannya. Atas sikap ketua MA yang menolak merevisi ataupun
mencabut surat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa ketua Mahkamah Agung telah
secara nyata melanggar sumpah jabatannya? Jika benar demikian, apa tanggung
jawab hukum yang dapat dikenakan kepada ketua Mahkamah Agung RI?
B.
Sumpah
Jabatan dan Negara Hukum
Pasal 1 ayat (3)
menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud
adalah rechstaat yang pernah diulas oleh Frederich Julius
Stahl yang salah satu cirinya adalah “pemerintahan berdasarkan
undang-undang dasar”. Dari pengakuan itu membawa konsekuensi
bahwa semua tindak tanduk negara harus ada dasar hukumya dan harus selaras
dengan amanat undang-undang dasar, termasuk ketika akan mengangkat seseorang
untuk menduduki suatu jabatan publik.
Pengucapan sumpah atau
janji jabatan dalam pelantikan pejabat publik adalah sebagai konsekuensi dari
negara hukum, sebab Substansi sumpah berisi janji setia kepada hukum. Sumpah
jabatan mencerminkan hal-hal sebagai berikut :
1. Pertama, penegasan bahwa
kekuasaan tertinggi dalam negara berpangkal kepada hukum (rule of law) bukan kepada seseorang (rule of men). Pengambilan sumpah jabatan tersebut pada
saat yang sama juga menegaskan asas equality before the law atau
persamaan kedudukan semua orang di hadapan hukum sehingga tidak ada seorangpun
yang berada di atas hukum (no one above the law).
Sekalipun pejabat yang bersumpah itu akan mendapatkan wewenang dalam ranah
hukum publik yang bersifat imperatif (memaksa untuk dipatuhi), namun tidak
lantas membuatnya berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan warga
negara lainnya. Di mata hukum kedudukannya tetap sama dan tidak lebih tinggi
daripada kedudukan hukum orang lain pada umumnya. No one above the law juga
bermakna bahwa terlepas segala kedudukan dan wewenang yang ia miliki karena
jabatannya, hukum tetap dapat menindaknya apabila terbukti melakukan
pelanggaran;
2. Kedua, sumpah jabatan adalah
janji atas pembatasan kekuasaan. Kekuasaan besar yang dimiliki seorang pejabat
dibatasi oleh apa-apa yang dibolehkan dan dilarang oleh hukum. Para sarjana
hukum memandang perlu membatasi kekuasaan karena sejarah telah membuktikan
bahwa sifat dasar kekuasaan cenderung digunakan secara sewenang-wenang (corrupt). Karena itu untuk mencegah agar kekuasaan
tidak dipergunakan secara sewenang-wenang harus ada pembatasan baik dari segi
jangka waktu kepemilikan atas kekuasaan itu dan maupun ruang lingkup
kekuasaannya. Sumpah setia kepada hukum adalah sebuah janji untuk mempergunakan
wewenang dalam jabatan terbatas hanya untuk kepentingan hukum dan bukan untuk
kepentingan pribadi (personal interest);
3. Ketiga, sumpah jabatan
sekaligus berfungsi sebagai kontrol publik. Sumpah setia kepada hukum
memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kredibilitas dan
akuntabilitas pejabat publik. Dengan adanya sumpah tersebut, masyarakat dapat
menilai kesesuaian antara sumpah dan janji yang diucapkan dengan pelaksanaannya
di lapangan. Apabila ternyata melenceng dari sumpahnya, maka masyarakat menjadi
memiliki ukuran untuk menilai apakah pejabat publik yang bersangkutan masih
layak dipertahankan untuk menjalankan jabatannya atau selayaknya diberikan
sanksi dan diganti.
C.
Sumpah
Jabatan Ketua Mahkamah Agung
Sama halnya dengan pejabat-pejabat
negara lainnya, sebelum menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya, Ketua
Mahkamah Agung diwajibkan untuk mengambil sumpah jabatan (oath of office). Kewajiban itu tertera jelas dalam
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana dikatakan:
Demi Allah saya bersumpah bahwa
saya akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan
sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan
perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa
Dari bunyi sumpah tersebut,
Seorang Ketua Mahkamah Agung berjanji untuk setidaknya melaksanakan
3 (tiga) hal yakni : (1) pertama, Memenuhi
Kewajiban Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan Seadil-adilnya;
(2) kedua, Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan
menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945; (3) ketiga, Berbakti
kepada nusa dan bangsa. Menjadi pertanyaan kemudian, jika ketua Mahkamah Agung
melakukan tindakan yang melanggar salah satu dari ketiga poin sumpahnya itu,
apa konsekuensi hukum yang akan diterima olehnya?. Dapatkah pelanggaran itu
menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi berat bahkan sampai
memberhentikannya dari jabatan Ketua?.
Jika ditelusuri seluruh
ketentuan tentang pelanggaran sumpah jabatan, tidak akan ditemukan satupun
pasal yang mengatur tentang konsekuensi hukum jika ketua MA melanggar sumpah
jabatannya itu. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Satu-satunya ketentuan
yang mengatur tentang pelanggaran sumpah hanya diatur untuk jabatan hakim agung
saja. Pasal 11 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Hakim Agung
dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila salah
satunya : “d. Melanggar sumpah atau janji jabatan”. Sementara
satu-satunya pasal yang mengatur tentang pemberhentian ketua Mahkamah Agung
hanyalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dimana Ketua Mahkamah Agung
dapat diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena alasan : (1) meninggal
dunia, (2) telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; (3) atas permintaan sendiri
secara tertulis; (4) sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3
(tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat dokter; atau (5)
ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Dengan kata lain,
satu-satunya ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang
konsekuensi pelanggaran sumpah jabatan hanya ditujukan kepada Hakim Agung saja,
namun terhadap ketua Mahkamah Agung masih menyisakan pertanyaan sebab tidak
terdapat satupun pasal yang mengatur konsekuensi hukum jika ketua Mahkamah
Agung melakukan tindakan yang secara nyata bertentangan dengan sumpah
jabatannya. Betulkah pelanggaran sumpah Ketua Mahkamah Agung tidak dapat
dikenakan sanksi apapun?
D.
Pengangkatan
Sumpah Advokat Selain PERADI Wujud Pelanggaran Sumpah Ketua MA
Sebagaimana telah
diutarakan di awal tulisan ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang
Advokat yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-XVII/2018 telah menegaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi
Advokat yang berwenang untuk melaksanakan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan
Pengawasan Profesi Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat,
termasuk salah satu di dalamnya adalah wewenang untuk mengusulkan sumpah
Advkoat ke Pengadilan Tinggi. Dalam kenyataannya, Pengusulan Sumpah Advokat
oleh Organisasi Selain PERADI ternyata tetap bisa dilakukan dan dibolehkan oleh
Mahkamah Agung dengan landasan hukum berupa Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Meskipun
telah ditegaskan tidak berwenang oleh Mahkamah Konstitusi, Poin 6 Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 itu secara tegas membolehkan
pengusulan sumpah Advokat oleh Organisasi manapun selain PERADI. Meski
jelas-jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada
tanda-tanda Ketua Mahkamah Agung akan mencabut surat tersebut.
Pertanyaan selanjutnya
adalah dapatkah sikap Ketua Mahkamah Agung yang mempertahankan Surat tersebut
dipandang sebagai pelanggaran atas sumpah Jabatan? Tentu saja hal itu benar
adanya. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang diambil dengan tujuan
untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
Karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusannya, Mahkamah
Agung juga turut terikat dengan putusan tersebut sebab dengan melaksanakan
putusan Mahkamah Konstitusi itu, Mahkamah Agung telah memenuhi sumpah
jabatannya yang akan “Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Sebaliknya, Jika Mahkamah Agung
mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pengabaian atas putusan Mahkamah
Konstitusi secara nyata berarti mengabaikan sumpah jabatannya sendiri.
Terlebih ketentuan Pasal
47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah
menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh
kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk
umum”. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Konstitusi
berkedudukan setara dengan undang-undang yang mengikat umum termasuk ketua
Mahkamah Agung RI dan berlaku secara kedepan secara prospektif. Karena itu,
ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 keluar pada
tanggal 07 Oktober 2018. Maka sejak saat itu semestinya Mahkamah Agung
menindaklanjutinya dengan melakukan revisi ataupun mencabut Surat Ketua
Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
Pada faktanya, hingga
saat ini Mahkamah Agung tidak menindaklanjuti hal itu sehingga pengabaian
putusan Mahkamah Konstitusi itu jelaslah sebuah pelanggaran atas sumpah jabatan
yang telah dia ucapkan. Namun demikian, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2009, atas pelanggaran sumpah jabatannya itu, tidak ada satupun ketentuan
pasal yang memuat sanksi yang dapat dikenakan kepada Ketua Mahkamah Agung.
Padahal dua cabang kekuasaan lainnya yakni Kepala Eksekutif (presiden)[2] dan maupun kepala Legislatif (DPR)[3] sama-sama dapat di-remove dari kantor dan kedudukannya apabila terbuki
melanggar sumpah jabatan. Mengapa Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang kedudukannya sangat vital karena menyangkut hak atas keadilan
masyarakat justru tidak terdapat sanksi jika melanggar sumpah jabatannya? Hal
itu menjadi kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang dapat
ditindaklanjuti dengan legislative review yang
dapat ditindaklanjuti dengan revisi/penggantian ataupun melalui judicial review untuk dapat memperluas tafsir
konsekuensi hukum jika hakim agung melanggar sumpah jabatannya mutatis mutandis juga berlaku kepada jabatan Ketua[4].
Bahwa tindakan Ketua
Mahkamah Agung mempertahankan SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal
25 September 2015 jelaslah melanggar sumpah jabatannya. Pelanggaran atas sumpah
jabatan itu adalah pelanggaran dalam ranah hukum administrasi sehingga layaknya
dua jabatan sebelumnya, sanksi yang dapat dikenakan juga adalah berupa sanksi
administrasi. Akan tetapi, jika mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku
saat itu, atas “tindakan” nya itu tidak dapat
diproses untuk diberikan sanksi administrasi sebab tidak ada satupun ketentuan
yang mengatur tentang hal itu. Ketiadaan aturan untuk memprosesnya tentu saja
membuat tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada jabatan ketua Mahkamah
Agung atas “tindakan” nya itu.
Di sisi lain, terhadap
produknya sendiri yakni SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25
September 2015 secara hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum pembatalan baik
melalui upaya administratif dengan mengajukan keberatan kepada Ketua Mahkamah
Agung dan dikuatkan pula dengan Rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia.
Selain itu, upaya pembatalan dapat pula ditempuh dengan mengajukan permohonan
fiktif positif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam tempo 10
(sepuluh hari) yang terlewati setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan
kepada Ketua Mahkamah Agung agar merevisi/mencabut SK Ketua MA Nomor:
73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
1Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi
No.35/PUU-XVII/2018.,hal 318
2Presiden dapat di-impeached kalau terbukti
melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan Pasal 7A yakni melakukan
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat
lainnya. Meskipun tidak disebutkan melanggar sumpah jabatannya, namun
pelanggaran-pelanggaran itu jika dilakukan secara nyata juga berarti melanggar
sumpah jabatannya yang berjanji �memegang teguh Undang-Undang Dasar dan
menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta
berbakti keapda nusa dan bangsa�
3Pasal 87 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2017 mengatakan �Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c apabila...b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik
DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh
Mahkamah Kehormatan DPR�
4Jika ditelusuri kepada ketentuan Undang-Undang
MA di masa lalu, pelanggaran sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung ternyata ada
sanksinya, namun ketentuan itu dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2009. Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yakni Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul
Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan . Dalam
perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, ketentuan Pasal 12 itu
ternyata masih dipertahankan, sebagaimana dikatakan �Ketua,
Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak
dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung dengan
alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan�
MUSCAB II DPC PERADI JOMBANG
DPC PERADI JOMBANG
(Sabtu, 10 April 2021)
bertempat di Ballroom Hotel Yusro, Jl. Sukarno Hatta No. 25 Jombang sukses terlaksana prosesi peralihan kepemimpinan pengurus DPC Peradi 2016-2021 kepada kepengurusan yang baru 2021-2026.
H. Mohammad Siswoyo, SH., MH. terpilih dengan perolehan suara terbanyak mengungguli 4 kandidat lainnya, setelah sebelumnya 2 kandidat ( Farid Fathoni dan Mohamad Sholahuddin) mengundurkan diri. selanjutnya bersama ketua DPC demisioner dan nominasi perolehan suara terbanyak kedua ditetapkan sebagai Tim Formatur.
saat ini SK kepengurusan DPC PERADI Jombang kepengurusan 2021- 2026 telah disahkan oleh DPP berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Nasional PERADI Nomor : KEP.098/PERADI/DPN/IV/2021 tertanggal 30 April 2021. tentang Pengangkatan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Jombang Masa Jabatan 2021 - 2026.
dalam waktu dekat akan dilaksanakan pelantikan pengurus DPC PARADI JOMBANG.
PERPANJANGAN KARTU ANGGOTA PERADI
PENGUMUNAN DATA ULANG PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA TAHUN 2021
Sehubungan dengan akan
berakhirnya masa berlaku Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) Perhimpunan
Advokat Indonesia (PERADI) pada tanggal 31 Desember 2021, Dewan Pimpinan
Nasional (DPN) PERADI akan melakukan pendataan ulang Advokat untuk menerbitkan
KTPA baru dan Direktori Advokat Indonesia, dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Data Ulang Advokat hanya
untuk Advokat yang terdaftar dalam Buku Daftar Anggota PERADI yang tidak
diberhentikan secara hormat maupun tidak hormat sebagai Anggota PERADI.
2.
Data Ulang Advokat
dimulai tanggal 5 April 2021 s.d. 30 Juni 2021.
3.
Formulir Data Ulang
Advokat dan persyaratannya dapat diperoleh di situs http://www.peradi.or.id/ dan di http://www.hukumonline.com/ atau Sekretariat DPC PERADI di seluruh
Indonesia (daftar alamat DPC PERADI dapat dilihat di situs http://www.peradi.or.id).
4.
Formulir Data Ulang
Advokat yang telah diisi berikut persyaratannya harus diserahkan kepada DPN
PERADI melalui Sekretariat DPC PERADI di wilayah domisili Advokat terdaftar
berdasarkan alamat kantor atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) dalam bentuk hard copy dan soft copy PDF,
paling lambat tanggal 30 Juni 2021.
5.
Biaya Data Ulang Advokat
sebesar Rp. 750.000 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), dan untuk Advokat
yang pengangkatannya dilaksanakan antara bulan Januari - Maret 2021 dikenakan
biaya sebesar Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah), disetorkan langsung ke
rekening DPN PERADI di:
Bank |
: Bank Central Asia (BCA) KCU
Mangga Dua Raya |
Nomor Rekening |
: 335-304-000-2 |
Atas Nama |
: Perhimpunan Advokat Indonesia |
6. Persyaratan Data Ulang Advokat yang wajib
dilampirkan, yaitu :
a. Formulir Data Ulang 2021 yang telah diisi;
b. Fotokopi KTP dan ; KTPA yang telah dikeluarkan
oleh DPN PERADI;
c. Tanda bukti pembayaran biaya administrasi Data
Ulang Advokat. Dalam bukti pembayaran harus dicantumkan Nama Advokat dan Nomor
Induk Advokat (N.I.A.);
d. Pas Foto terbaru berlatar belakang warna merah
ukuran 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar;
e. Fotokopi SK Pengangkatan Advokat;
f. Fotokopi Berita Acara Sumpah (BAS) dari
Pengadilan Tinggi;
g. Fotokopi ijazah legalisir basah khusus
penambahan gelar.
7.
Advokat yang
pengangkatannya dilaksanakan setelah tanggal 05 April 2021 tidak diwajibkan
Data Ulang karena KTPA yang diterbitkan berlaku sampai dengan tahun 2024;
8.
KTPA baru akan
diserahkan kepada Advokat melalui kantor Sekretariat DPC PERADI tempat dimana
Advokat terdaftar.
Jakarta, 5 April 2021
DEWAN PIMPINAN NASIONAL
PERHIMPUNAN ADVOKAT INDONESIA
ttd, |
ttd, |
Prof.
Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. |
H.
Hermansyah Dulaimi, S.H., M.H. |
Ketua
Umum |
Sekretaris
Jenderal |
Kode Etik Advokat Indonesia
Kode Etik Advokat
KOMITE KERJA ADVOKAT INDONESIA
KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA
IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) ASOSIASI
ADVOKAT INDONESIA (AAI) IKATAN PENASEHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) HIMPUNAN
ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI)
ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL
(HKHPM)
DISAHKAN PADA TANGGAL:
23 MEI 2002
DI SALIN DAN DIPERBANYAK OLEH:
PANITIA DAERAH UJIAN KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA DKI JAKARTA 2002
KODE ETIK
ADVOKAT INDONESIA
PEMBUKAAN
Bahwa semestinya organisasi profesi memiliki Kode Etik yang
membebankan kewajiban dan sekaligus memberikan perlindungan hukum kepada setiap
anggotanya dalam menjalankan profesinya.
Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile) yang dalam
menjalankan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan
Kode Etik, memiliki kebebasan yang didasarkan kepada kehormatan dan kepribadian
Advokat yang berpegang teguh kepada Kemandirian, Kejujuran, Kerahasiaan dan
Keterbukaan. Bahwa profesi Advokat adalah selaku penegak hukum yang sejajar
dengan instansi penegak hukum lainnya, oleh karena itu satu sama lainnya harus
saling menghargai antara teman sejawat dan juga antara para penegak hukum
lainnya.
Oleh karena itu juga, setiap Advokat harus menjaga citra dan
martabat kehormatan profesi, serta setia dan menjunjung tinggi Kode Etik dan
Sumpah Profesi, yang pelaksanaannya diawasi oleh Dewan Kehormatan sebagai suatu
lembaga yang eksistensinya telah dan harus diakui setiap Advokat tanpa melihat
dari organisasi profesi yang mana ia berasal dan menjadi anggota, yang pada
saat mengucapkan Sumpah Profesi-nya tersirat pengakuan dan kepatuhannya
terhadap Kode Etik Advokat yang berlaku.
Dengan demikian Kode Etik Advokat Indonesia adalah sebagai hukum
tertinggi dalam menjalankan profesi, yang menjamin dan melindungi namun
membebankan kewajiban kepada setiap Advokat untuk jujur dan bertanggung jawab
dalam menjalankan profesinya baik kepada klien, pengadilan, negara atau
masyarakat dan terutama kepada dirinya sendiri
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Yang dimaksud dengan:
a. Advokat adalah orang yang berpraktek memberi
jasa hukum, baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan undang-undang yang berlaku, baik sebagai Advokat, Pengacara,
Penasehat Hukum, Pengacara praktek ataupun sebagai konsultan hukum.
b. Klien adalah orang, badan hukum atau lembaga
lain yang menerima jasa dan atau bantuan hukum dari Advokat.
c. Teman sejawat adalah orang atau mereka yang
menjalankan praktek hukum sebagai Advokat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku.
d. Teman sejawat asing adalah Advokat yang bukan
berkewarganegaraan Indonesia yang menjalankan praktek hukum di Indonesia sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Dewan kehormatan adalah lembaga atau badan yang
dibentuk oleh organisasi profesi advokat yang berfungsi dan berkewenangan
mengawasi pelaksanaan kode etik Advokat sebagaimana semestinya oleh Advokat dan
berhak menerima dan memeriksa pengaduan terhadap seorang Advokat yang dianggap
melanggar Kode Etik Advokat.
f. Honorarium adalah pembayaran kepada Advokat
sebagai imbalan jasa Advokat berdasarkan kesepakatan dan atau perjanjian dengan
klienny
BAB II
KEPRIBADIAN ADVOKAT
Pasal 2
Advokat Indonesia adalah warga negara Indonesia
yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam
mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan
mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum,
Undang-undang Dasar Republik Indonesia, Kode Etik Advokat serta sumpah
jabatannya.
Pasal 3
a. Advokat dapat menolak untuk memberi nasihat dan
bantuan hukum kepada setiap orang yang memerlukan jasa dan atau bantuan hukum
dengan pertimbangan oleh karena tidak sesuai dengan keahliannya dan bertentangan
dengan hati nuraninya, tetapi tidak dapat menolak dengan alasan karena
perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik
dan kedudukan sosialnya.
b. Advokat dalam melakukan tugasnya tidak bertujuan
semata-mata untuk memperoleh imbalan materi tetapi lebih mengutamakan tegaknya
Hukum, Kebenaran dan Keadilan.
c. Advokat dalam menjalankan profesinya adalah
bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib
memperjuangkan hak-hak azasi manusia dalam Negara Hukum Indonesia.
d. Advokat wajib memelihara rasa solidaritas
diantara teman sejawat.
e. Advokat wajib memberikan bantuan dan pembelaan
hukum kepada teman sejawat yang diduga atau didakwa dalam suatu perkara pidana
atas permintaannya atau karena penunjukan organisasi profesi.
f. Advokat tidak dibenarkan untuk melakukan
pekerjaan lain yang dapat merugikan kebebasan, derajat dan martabat Advokat.
g. Advokat harus senantiasa menjunjung tinggi
profesi Advokat sebagai profesi terhormat (officium nobile).
h. Advokat dalam menjalankan profesinya harus
bersikap sopan terhadap semua pihak namun wajib mempertahankan hak dan martabat
advokat.
i. Seorang Advokat yang kemudian diangkat untuk
menduduki suatu jabatan Negara (Eksekutif, Legislatif dan judikatif) tidak
dibenarkan untuk berpraktek sebagai Advokat dan tidak diperkenankan namanya
dicantumkan atau dipergunakan oleh siapapun atau oleh kantor manapun dalam
suatu perkara yang sedang diproses/berjalan selama ia menduduki jabatan
tersebut.
BAB III
HUBUNGAN DENGAN KLIEN
Pasal 4
a. Advokat dalam perkara-perkara perdata harus
mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai.
b. Advokat tidak dibenarkan memberikan keterangan
yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya.
c. Advokat tidak dibenarkan menjamin kepada
kliennya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang.
d. Dalam menentukan besarnya honorarium Advokat
wajib mempertimbangkan kemampuan klien.
e. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan
biaya-biaya yang tidak perlu.
f. Advokat dalam mengurus perkara cuma-cuma harus
memberikan perhatian yang sama seperti terhadap perkara untuk mana ia menerima
uang jasa.
g. Advokat harus menolak mengurus perkara yang
menurut keyakinannya tidak ada dasar hukumnya.
h. Advokat wajib memegang rahasia jabatan tentang
hal-hal yang diberitahukan oleh klien secara kepercayaan dan wajib tetap
menjaga rahasia itu setelah berakhirnya hubungan antara Advokat dan klien itu.
i. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang
dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien atau pada
saat tugas itu akan dapat menimbulkan kerugian yang tidak dapat diperbaiki lagi
bagi klien yang bersangkutan, dengan tidak mengurangi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 huruf a.
j. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari
dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri sepenuhnya dari pengurusan
kepentingan-kepentingan tersebut, apabila dikemudian hari timbul pertentangan
kepentingan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
k. Hak retensi Advokat terhadap klien diakui
sepanjang tidak akan menimbulkan kerugian kepentingan klien.
BAB IV
HUBUNGAN DENGAN TEMAN SEJAWAT
Pasal 5
a. Hubungan antara teman sejawat Advokat harus
dilandasi sikap saling menghormati, saling menghargai dan saling mempercayai.
b. Advokat jika membicarakan teman sejawat atau
jika berhadapan satu sama lain dalam sidang pengadilan, hendaknya tidak
menggunakan kata-kata yang tidak sopan baik secara lisan maupun tertulis.
c. Keberatan-keberatan terhadap tindakan teman
sejawat yang dianggap bertentangan dengan Kode Etik Advokat harus diajukan
kepada Dewan Kehormatan untuk diperiksa dan tidak dibenarkan untuk disiarkan
melalui media massa atau cara lain.
d. Advokat tidak diperkenankan menarik atau merebut
seorang klien dari teman sejawat.
e. Apabila klien hendak mengganti Advokat, maka
Advokat yang baru hanya dapat menerima perkara itu setelah menerima bukti
pencabutan pemberian kuasa kepada Advokat semula dan berkewajiban mengingatkan
klien untuk memenuhi kewajibannya apabila masih ada terhadap Advokat semula.
f. Apabila suatu perkara kemudian diserahkan oleh
klien terhadap Advokat yang baru, maka Advokat semula wajib memberikan
kepadanya semua surat dan keterangan yang penting untuk mengurus perkara itu,
dengan memperhatikan hak retensi Advokat terhadap klien tersebut.
g.
BAB
V
TENTANG SEJAWAT ASING
Pasal 6
h.
Advokat asing yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku menjalankan profesinya di
Indonesia tunduk kepada serta wajib mentaati Kode Etik ini.
BAB VI
CARA BERTINDAK MENANGANI PERKARA
Pasal 7
a. Surat-surat yang dikirim oleh Advokat kepada
teman sejawatnya dalam suatu perkara dapat ditunjukkan kepada hakim apabila
dianggap perlu kecuali surat-surat yang bersangkutan dibuat dengan membubuhi
catatan "Sans Prejudice ".
b. Isi pembicaraan atau korespondensi dalam rangka
upaya perdamaian antar Advokat akan tetapi tidak berhasil, tidak dibenarkan
untuk digunakan sebagai bukti dimuka pengadilan.
c. Dalam perkara perdata yang sedang berjalan,
Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak
lawan, dan apabila ia menyampaikan surat, termasuk surat yang bersifat "ad
informandum" maka hendaknya seketika itu tembusan dari surat tersebut
wajib diserahkan atau dikirimkan pula kepada Advokat pihak lawan.
d. Dalam perkara pidana yang sedang berjalan,
Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan jaksa
penuntut umum.
e. Advokat tidak dibenarkan mengajari dan atau
mempengaruhi saksi-saksi yang diajukan oleh pihak lawan dalam perkara perdata
atau oleh jaksa penuntut umum dalam perkara pidana.
f. Apabila Advokat mengetahui, bahwa seseorang
telah menunjuk Advokat mengenai suatu perkara tertentu, maka hubungan dengan
orang itu mengenai perkara tertentu tersebut hanya boleh dilakukan melalui
Advokat tersebut.
g. Advokat bebas mengeluarkan pernyataan-pernyataan
atau pendapat yang dikemukakan dalam sidang pengadilan dalam rangka pembelaan
dalam suatu perkara yang menjadi tanggung jawabnya baik dalam sidang terbuka
maupun dalam sidang tertutup yang dikemukakan secara proporsional dan tidak
berkelebihan dan untuk itu memiliki imunitas hukum baik perdata maupun pidana.
h. Advokat mempunyai kewajiban untuk memberikan
bantuan hukum secara cuma-Cuma (pro deo) bagi orang yang tidak mampu.
i. Advokat wajib menyampaikan pemberitahuan tentang
putusan pengadilan mengenai perkara yang ia tangani kepada kliennya pada
waktunya
BAB VII
KETENTUAN-KETENTUAN LAIN TENTANG KODE ETIK
Pasal 8
a. Profesi Advokat adalah profesi yang mulia dan
terhormat (officium nobile), dan karenanya dalam menjalankan profesi selaku
penegak hukum di pengadilan sejajar dengan Jaksa dan Hakim, yang dalam
melaksanakan profesinya berada dibawah perlindungan hukum, undang-undang dan
Kode Etik ini.
b. Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik
perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran
dan! atau bentuk yang berlebih-lebihan.
c. Kantor Advokat atau cabangnya tidak dibenarkan
diadakan di suatu tempat yang dapat merugikan kedudukan dan martabat Advokat.
d. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang
bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat
atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya
sebagai Advokat.
e. Advokat tidak dibenarkan mengizinkan
karyawan-karyawannya yang tidak berkualifikasi untuk mengurus perkara atau
memberi nasehat hukum kepada klien dengan lisan atau dengan tulisan.
f. Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari
publitas bagi dirinya dan atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai
tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah
ditanganinya, kecuali apabila keteranganketerangan yang ia berikan itu
bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh
setiap Advokat.
g. Advokat dapat mengundurkan diri dari perkara
yang akan dan atau diurusnya apabila timbul perbedaan dan tidak dicapai
kesepakatan tentang cara penanganan perkara dengan kliennya.
h. Advokat yang sebelumnya pernah menjabat sebagai
Hakim atau Panitera dari suatulembaga peradilan, tidak dibenarkan untuk
memegang atau menangani perkara yang diperiksa pengadilan tempatnya terakhir
bekerja selama 3 (tiga) tahun semenjak ia berhenti dari pengadilan tersebut
BAB VIII
PELAKSANAAN KODE ETIK
Pasal 9
a. Setiap Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode
Etik Advokat ini.
b. Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Advokat
ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
BAB IX
DEWAN KEHORMATAN
Bagian Pertama
KETENTUAN UMUM
Pasal 10
1. Dewan Kehormatan berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh Advokat.
2. Pemeriksaan suatu pengaduan dapat dilakukan
melalui dua tingkat, yaitu:
a. Tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
b. Tingkat Dewan Kehormatan Pusat.
3. Dewan Kehormatan Cabang/daerah memeriksa
pengaduan pada tingkat pertama dan Dewan Kehormatan Pusat pada tingkat
terakhir.
4. Segala biaya yang dikeluarkan dibebankan kepada:
a. Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dimana teradu
sebagai anggota pada tingkat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah;
b. Dewan Pimpinan Pusat pada tingkat Dewan
Kehormatan Pusat organisasi dimana teradu sebagai anggota;
c. Pengadu/Teradu.
Bagian Kedua
PENGADUAN
Pasal 11
1. Pengaduan dapat diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan dan merasa dirugikan, yaitu:
a. Klien.
b. Teman sejawat Advokat.
c. Pejabat Pemerintah.
d. Anggota Masyarakat.
e. Dewan Pimpinan Pusat/Cabang/Daerah dari
organisasi profesi dimana Teradu menjadi anggota.
2. Selain untuk kepentingan organisasi, Dewan
Pimpinan Pusat atau Dewan Pimpinan Cabang/Daerah dapat juga bertindak sebagai
pengadu dalam hal yang menyangkut epentingan hukum dan kepentingan umum dan
yang dipersamakan untuk itu.
3. Pengaduan yang dapat diajukan hanyalah yang
mengenai pelanggaran terhadap Kode Etik Advokat.
Bagian Ketiga
TATA CARA PENGADUAN
Pasal 12
1. Pengaduan terhadap Advokat sebagai teradu yang
dianggap melanggar Kode Etik Advokat harus disampaikan secara tertulis disertai
dengan alasan-alasannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau kepada dewan
Pimpinan Cabang/Daerah atau Dewan Pimpinan Pusat dimana teradu menjadi anggota.
2. Bilamana di suatu tempat tidak ada Cabang/Daerah
Organisasi, pengaduan disampaikan kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
terdekat atau Dewan Pimpinan Pusat.
3. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan
Pimpinan Cabang/Daerah, maka Dewan Pimpinan Cabang/Daerah meneruskannya kepada
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang berwenang untuk memeriksa pengaduan itu.
4. Bilamana pengaduan disampaikan kepada Dewan
Pimpinan Pusat/Dewan Kehormatan Pusat, maka Dewan Pimpinan Pusat/Dewan
Kehormatan Pusat meneruskannya kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang
berwenang untuk memeriksa pengaduan itu baik langsung atau melalui Dewan Dewan
Pimpinan Cabang/Daerah.
Bagian Bagian Keempat
PEMERIKSAAN TINGKAT PERTAMA OLEH DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 13
1.
Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah setelah menerima pengaduan tertulis yang disertai surat-surat
bukti yang dianggap perlu, menyampaikan surat pemberitahuan selambatlambatnya
dalam waktu 14 (empat belas) hari dengan surat kilat khusus/tercatat kepada
teradu tentang adanya pengaduan dengan menyampaikan salinan/copy surat
pengaduan tersebut.
2.
Selambat-lambatnya dalam
waktu 21 (dua puluh satu) hari pihak teradu harus memberikan jawabannya secara
tertulis kepada Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang bersangkutan, disertai
surat-surat bukti yang dianggap perlu.
3.
Jika dalam waktu 21 (dua
puluh satu) hari tersebut teradu tidak memberikan jawaban tertulis, Dewan
Kehormatan Cabang/Daerah menyampaikan pemberitahuan kedua dengan peringatan
bahwa apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal surat peringatan
tersebut ia tetap tidak memberikan jawaban tertulis, maka ia dianggap telah
melepaskan hak jawabnya.
4.
Dalam hal teradu tidak
menyampaikan jawaban sebagaimana diatur di atas dan dianggap telah melepaskan
hak jawabnya, Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dapat segera menjatuhkan putusan
tanpa kehadiran pihak-pihak yang bersangkutan.
5.
Dalam hal jawaban yang
diadukan telah diterima, maka Dewan Kehormatan dalam waktu selambat-lambatnya
14 (empat belas) hari menetapkan hari sidang dan menyampaikan panggilan secara
patut kepada pengadu dan kepada teradu untuk hadir dipersidangan yang sudah
ditetapkan tersebut.
6.
Panggilan-panggilan
tersebut harus sudah diterima oleh yang bersangkutan paling tambat 3 (tiga)
hari sebelum hari sidang yang ditentukan.
7.
Pengadu dan yang teradu:
a.
Harus hadir secara
pribadi dan tidak dapat menguasakan kepada orang lain, yang jika dikehendaki
masing-masing dapat didampingi oleh penasehat.
b.
Berhak untuk mengajukan
saksi-saksi dan bukti-bukti.
8.
Pada sidang pertama yang
dihadiri kedua belah pihak:
a.
Dewan Kehormatan akan
menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b.
Perdamaian hanya
dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan
pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan
organisasi atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau
dibuatkan akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c.
Kedua belah pihak
diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan
didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
9.
Pada sidang pertama yang
dihadiri kedua belah pihak:
a.
Dewan Kehormatan akan
menjelaskan tata cara pemeriksaan yang berlaku;
b.
Perdamaian hanya
dimungkinkan bagi pengaduan yang bersifat perdata atau hanya untuk kepentingan
pengadu dan teradu dan tidak mempunyai kaitan langsung dengan kepentingan organisasi
atau umum, dimana pengadu akan mencabut kembali pengaduannya atau dibuatkan
akta perdamaian yang dijadikan dasar keputusan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang langsung mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
c.
Kedua belah pihak
diminta mengemukakan alasan-alasan pengaduannya atau pembelaannya secara
bergiliran, sedangkan surat-surat bukti akan diperiksa dan saksi-saksi akan
didengar oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah.
Bagian Kelima
SIDANG DEWAN KEHORMATAN CABANG/DAERAH
Pasal 14
1.
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
bersidang dengan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya atas 3 (tiga) orang
anggota yang salah satu merangkap sebagai Ketua Majelis, tetapi harus selalu
berjumlah ganjil.
2.
Majelis dapat terdiri
dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan
dan menjiwai Kode Etik Advokat.
3.
Majelis dipilih dalam
rapat Dewan Kehormatan Cabang/Daerah yang khusus dilakukan untuk itu yang
dipimpin oleh Ketua Dewan Kehormatan Cabang/Daerah atau jika ia berhalangan
oleh anggota Dewan lainnya yang tertua,
4.
Setiap dilakukan
persidangan, Majelis Dewan Kehormatan diwajibkan membuat atau menyuruh membuat
berita acara persidangan yang disahkan dan ditandatangani oleh Ketua Majelis
yang menyidangkan perkara itu.
5.
Sidang-sidang dilakukan
secara tertutup, sedangkan keputusan diucapkan dalam sidang terbuka.
Bagian Keenam
CARA PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 15
1.
Setelah memeriksa dan
mempertimbangkan pengaduan, pembelaan, surat-surat bukti dan keterangan
saksi-saksi maka Majelis Dewan Kehormatan mengambil Keputusan yang dapat
berupa:
a.
Menyatakan pengaduan
dari pengadu tidak dapat diterima;
b.
Menerima pengaduan dari
pengadu dan mengadili serta menjatuhkan sanksisanksi kepada teradu;
c.
Menolak pengaduan dari
pengadu.
2.
Keputusan harus memuat
pertimbangan-pertimbangan yang menjadi dasarnya dan menunjuk pada pasal-pasal
Kode Etik yang dilanggar.
3.
Majelis Dewan Kehormatan
mengambil keputusan dengan suara terbanyak dan mengucapkannya dalam sidang
terbuka dengan atau tanpa dihadiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan, setelah
sebelumnya memberitahukan hari, tanggal dan waktu persidangan tersebut kepada
pihak-pihak yang bersangkutan.
4.
Anggota Majelis yang
kalah dalam pengambilan suara berhak membuat catatan keberatan yang dilampirkan
didalam berkas perkara.
5.
Keputusan ditandatangani
oleh Ketua dan semua Anggota Majelis, yang apabila berhalangan untuk
menandatangani keputusan, hal mana disebut dalam keputusan yang bersangkutan.
Bagian Ketujuh
SANKSI-SANKSI
Pasal 16
1.
Hukuman yang diberikan
dalam keputusan dapat berupa:
a.
Peringatan biasa.
b.
Peringatan keras.
c.
Pemberhentian sementara
untuk waktu tertentu.
d.
Pemecatan dari
keanggotaan organisasi profesi.
2.
Hukuman yang diberikan
dalam keputusan dapat berupa:
a.
Peringatan biasa
bilamana sifat pelanggarannya tidak berat.
b.
Peringatan keras
bilamana sifat pelanggarannya berat atau karena mengulangi kembali melanggar
kode etik dan atau tidak mengindahkan sanksi peringatan yang pernah diberikan.
c.
Pemberhentian sementara
untuk waktu tertentu bilamana sifat pelanggarannya berat, tidak mengindahkan
dan tidak menghormati ketentuan kode etik atau bilamana setelah mendapat sanksi
berupa peringatan keras masih mengulangi melakukan pelanggaran kode etik.
d.
Pemecatan dari keanggotaan
organisasi profesi bilamana dilakukan pelanggaran kode etik dengan maksud dan
tujuan merusak citra serta martabat kehormatan profesi Advokat yang wajib
dijunjung tinggi sebagai profesi yang mulia dan terhormat.
3.
Pemberian sanksi
pemberhentian sementara untuk waktu tertentu harus diikuti larangan untuk
menjalankan profesi advokat diluar maupun dimuka pengadilan.
4.
Terhadap mereka yang
dijatuhi sanksi pemberhentian sementara untuk waktu tertentu dan atau pemecatan
dari keanggotaan organisasi profesi disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk
diketahui dan dicatat dalam daftar Advokat.
Bagian Kedelapan
PENYAMPAIAN SALINAN KEPUTUSAN
Pasal 17
Dalam waktu selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah keputusan diucapkan, salinan keputusan Dewan kehormatan Cabang/Daerah
harus disampaikan kepada:
a.
Anggota yang
diadukan/teradu;
b.
Pengadu;
c.
Dewan Pimpinan
Cabang/Daerah dari semua organisasi profesi;
d.
Dewan Pimpinan Pusat
dari masing-masing organisasi profesi;
e.
Dewan Kehormatan Pusat;
f.
Instansi-instansi yang
dianggap perlu apabila keputusan telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 18
1.
Apabila pengadu atau
teradu tidak puas dengan keputusan Dewan Kehormatan Cabang/Daerah, ia berhak
mengajukan permohonan banding atas keputusan tersebut kepada Dewan Kehormatan
Pusat.
2.
Pengajuan permohonan
banding beserta Memori Banding yang sifatnya wajib, harus disampaikan melalui
Dewan Kehormatan Cabang/Daerah dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak
tanggal yang bersangkutan menerima salinan keputusan.
3.
Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah setelah menerima Memori Banding yang bersangkutan selaku
pembanding selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak
penerimaannya, mengirimkan salinannya melalui surat kilat khusus/tercatat
kepada pihak lainnya selaku terbanding.
4.
Pihak terbanding dapat
mengajukan Kontra Memori Banding selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh
satu) hari sejak penerimaan Memori Banding.
5.
Jika jangka waktu yang
ditentukan terbanding tidak menyampaikan Kontra Memori Banding ia dianggap
telah melepaskan haknya untuk itu.
6.
Selambat-lambatnya dalam
waktu 14 (empat belas) hari sejak berkas perkara dilengkapi dengan bahan-bahan
yang diperlukan, berkas perkara tersebut diteruskan oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah kepada dewan Kehormatan Pusat.
7.
Pengajuan permohonan
banding menyebabkan ditundanya pelaksanaan keputusan Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah.
8.
Dewan kehormatan Pusat
memutus dengan susunan Majelis yang terdiri sekurangkurangnya 3 (tiga) orang
anggota atau lebih tetapi harus berjumlah ganjil yang salah satu merangkap
Ketua Majelis.
9.
Majelis dapat terdiri
dari Dewan Kehormatan atau ditambah dengan Anggota Majelis Kehormatan Ad Hoc
yaitu orang yang menjalankan profesi dibidang hukum serta mempunyai pengetahuan
dan menjiwai Kode Etik Advokat.
10.
Majelis dipilih dalam
rapat Dewan Kehormatan Pusat yang khusus diadakan untuk itu yang dipimpin oleh
Ketua Dewan Kehormatan Pusat atau jika ia berhalangan oleh anggota Dewan
lainnya yang tertua.
11.
Dewan Kehormatan Pusat
memutus berdasar bahan-bahan yang ada dalam berkas perkara, tetapi jika
dianggap perlu dapat meminta bahan tambahan dari pihak-pihak yang bersangkutan
atau memanggil mereka langsung atas biaya sendiri.
12.
Dewan Kehormatan Pusat
secara prorogasi dapat menerima permohonan pemeriksaan langsung dari suatu
perkara yang diteruskan oleh Dewan Kehormatan Cabang/Daerah asal saja
permohonan seperti itu dilampiri surat persetujuan dari kedua belah pihak agar
perkaranya diperiksa langsung oleh Dewan Kehormatan Pusat.
13.
Semua ketentuan yang
berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat pertama oleh Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah, mutatis mutandis berlaku untuk pemeriksaan pada tingkat banding
oleh Dewan Kehormatan Pusat.
Bagian Kesepuluh
KEPUTUSAN DEWAN KEHORMATAN
Pasal 19
1.
Dewan Kehormatan Pusat
dapat menguatkan, merubah atau membatalkan keputusan Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah dengan memutus sendiri.
2.
Keputusan Dewan
kehormatan Pusat mempunyai kekuatan tetap sejak diucapkan dalam sidang terbuka
dengan atau tanpa dihadiri para pihak dimana hari, tanggal dan waktunya telah
diberitahukan sebelumnya kepada pihak-pihak yang bersangkutan.
3.
Keputusan Dewan
Kehormatan Pusat adalah final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat
dalam forum manapun, termasuk dalam MUNAS.
4.
Dalam waktu
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah keputusan diucapkan, salinan
keputusan Dewan Kehormatan Pusat harus disampaikan kepada:
a.
Anggota yang
diadukan/teradu baik sebagai pembanding ataupun terbanding;
b.
Pengadu baik selaku
pembanding ataupun terbanding;
c.
Dewan Pimpinan Cabang/Daerah
yang bersangkutan;
d.
Dewan Kehormatan
Cabang/Daerah yang bersangkutan;
e.
Dewan Pimpinan Pusat
dari masing-masing organisasi profesi;
f.
Instansi-instansi yang
dianggap perlu.
5.
Apabila seseorang telah
dipecat, maka Dewan Kehormatan Pusat atau Dewan Kehormatan Cabang/Daerah
meminta kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi untuk memecat orang yang
bersangkutan dari keanggotaan organisasi profesi.
Bagian Kesebelas
KETENTUAN LAIN TENTANG DEWAN KEHORMATAN
Pasal 20
Dewan Kehormatan berwenang menyempurnakan hal-hal
yang telah diatur tentang Dewan Kehormatan dalam Kode Etik ini dan atau
menentukan hal-hal yang belum diatur didalamnya dengan kewajiban melaporkannya
kepada Dewan Pimpinan Pusat/Organisasi profesi agar diumumkan dan diketahui
oleh setiap anggota dari masing-masing organisasi
BAB X
KODE ETIK & DEWAN KEHORMATAN
Pasal 21
Kode Etik ini adalah peraturan tentang Kode Etik dan Ketentuan
Tentang Dewan Kehormatan bagi mereka yang menjalankan profesi Advokat, sebagai
satu-satunya Peraturan Kode Etik yang diberlakukan dan berlaku di Indonesia.
BAB XI
ATURAN PERALIHAN
Pasal 22
1.
Kode Etik ini dibuat dan
diprakarsai oleh Komite Kerja Advokat Indonesia, yang disahkan dan ditetapkan
oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN), Asosiasi Advokat Indonesia (AAI),
Ikatan Penasehat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat & Pengacara
Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum
Indonesia (AKHI) dan Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) yang
dinyatakan berlaku bagi setiap orang yang menjalankan profesi Advokat di
Indonesia tanpa terkecuali.
2.
Setiap Advokat wajib
menjadi anggota dari salah satu organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal
ini.
3.
Komite Kerja Advokat
Indonesia mewakili organisasi-organisasi profesi tersebut dalam ayat 1 pasal
ini sesuai dengan Pernyataan Bersama tertanggal 11 Februari 2002 dalam hubungan
kepentingan profesi Advokat dengan lembaga-lembaga Negara dan pemerintah.
4.
Organisasi-organisasi
profesi tersebut dalam ayat 1 pasal ini akan membentuk Dewan kehormatan sebagai
Dewan Kehormatan Bersama, yang struktur akan disesuaikan dengan Kode Etik
Advokat ini.
Pasal 23
Perkara-perkara pelanggaran kode etik yang belum diperiksa dan
belum diputus atau belum berkekuatan hukum yang tetap atau dalam pemeriksaan
tingkat banding akan diperiksa dan diputus berdasarkan Kode Etik Advokat ini.
BAB XII
PENUTUP
Pasal 24
Kode Etik Advokat ini berlaku sejak tanggal berlakunya
Undang-undang tentang Advokat
Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 23 Mei 2002
Oleh :
1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) |
|
ttd |
ttd |
H. Sudjono, S.H. |
Otto Hasibuan, S.H. MM |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) |
|
ttd |
ttd |
Denny Kailimang, S.H. |
Teddy Soemantry, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) |
|
ttd |
ttd |
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. |
E. Suherman Kartadinata, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) |
|
ttd |
ttd |
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. |
Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M. |
Sekretaris/Caretaker Ketua |
Bendahara/Caretaker Ketua |
5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL |
|
ttd |
ttd |
Soemarjono S., S.H. |
Hafzan Taher, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) |
|
ttd |
ttd |
Trimedya Panjaitan, S.H. |
Sugeng T. Santoso, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) |
|
ttd |
ttd |
H. A. Z. Arifien Syafe'i, S.H. |
Suhardi Somomoeljono, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
PERUBAHAN I
KODE ETIK ADVOKAT INDONESIA
Ketujuh organisasi profesi advokat yang tergabung dalam Komite
Kerjasama Advokat Indonesia (KKAI, yaitu Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN),
Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI),
Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal
(HKHPM), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat &
Pengacara Indonesia (HAPI), dengan ini merubah seluruh ketentuan Bab XXII,
pasal 24 kode etik Advokat Indonesia yang ditetapkan pada tanggal 23 Mei 2002
sehingga seluruhnya menjadi :
BAB XII
PENUTUP
Kode etik Advokat ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu
sejak tanggal 23 Mei 2002.
Ditanda-tangani di: Jakarta
Pada tanggal: 1 Oktober 2002
Oleh:
1. IKATAN ADVOKAT INDONESIA (IKADIN) |
|
ttd |
ttd |
H. Sudjono, S.H. |
Otto Hasibuan, S.H. MM |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
2. ASOSIASI ADVOKAT INDONESIA (AAI) |
|
ttd |
ttd |
Denny Kailimang, S.H. |
Teddy Soemantry, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
3. IKATAN PENASIHAT HUKUM INDONESIA (IPHI) |
|
ttd |
ttd |
H. Indra Sahnun Lubis, S.H. |
E. Suherman Kartadinata, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
4. ASOSIASI KONSULTAN HUKUM INDONESIA (AKHI) |
|
ttd |
ttd |
Fred B. G. Tumbuan, S.H., L.Ph. |
Hoesein Wiriadinata, S.H., LL.M. |
Sekretaris/Caretaker Ketua |
Bendahara/Caretaker Ketua |
5. HIMPUNAN KONSULTAN HUKUM PASAR MODAL |
|
ttd |
ttd |
Soemarjono S., S.H. |
Hafzan Taher, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
6. SERIKAT PENGACARA INDONESIA (SPI) |
|
ttd |
ttd |
Trimedya Panjaitan, S.H. |
Sugeng T. Santoso, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
7. HIMPUNAN ADVOKAT & PENGACARA INDONESIA (HAPI) |
|
ttd |
ttd |
H. A. Z. Arifien Syafe'i, S.H. |
Suhardi Somomoeljono, S.H. |
Ketua Umum |
Sekretaris Jenderal |
Dua Tumpeng sebagai syarat buka kantor DPC
Peradi Jombang Tasyakuran dua tumpeng untuk syarat buka kantor Jombang, dpcperadijombang.blogspot.com.- Tasyakuran dalam rangka peresmian ka...

-
Rakor Perdana PBH PERADI Jombang, sekaligus serah terima stempel dari pengurus lama Jombang- (dpcperadijombang.com). Bertempat di cafe Padan...
-
Halal Bi Halal sambil Rembukan hal urgen terkait KTPA dan lainnya J ombang (dpcperadijombang.blogspot.com)- Acara Halal Bi Halal sekaligus ...
-
MUSYAWARAH CABANG KE-II DPC PERADI JOMBANG (Sabtu, 10 April 2021) bertempat di Ballroom Hotel Yusro, Jl. Sukarno Hatta No. 25 Jombang sukses...